Sabtu, 31 Juli 2010

Malam Ini Gerr!

Pukul 00.00. Malam ini aku terjaga. Lagi. Seperti biasa. Sepi. Jendela masih kelam, belum berbayang. Gelap. Hanya kipas yang masih memutar lagu yang sama, mengirim dingin yang sengaja menggelitik tubuhku, membuat ginjal berkerja lebih cepat dan kandung kemih pun siap untuk berproduksi. Seperti penari ronggeng yang mencari pelanggan, aku keluar dengan bokong yang sedikit ku jetitkan agar air bisa lebih sabar untuk mengalir. Ya, cukup berhasil. Setengah berlari ku tuju remang jingga di sana. Tapak kaki menelanjangi kotak-kotak es yang memberi asupan gizi lebih banyak pada kandung kemih. Sabar, sebentar lagi sampai.

Ku hampiri dulu gayung hijau yang terhimpit di antara peralatan mandi dan lainnya. Hati-hati. Jangan sampai terjatuh. Aku tak mau mereka terbangun. Terlalu ricuh untuk dini hari. Meskipun mereka berpikir itu tikus atau kucing, tapi aku bukan binatang! Ya, walaupun akan ada bunyi yang sama.
“Tok.”
Sedikit bersinggungan dengan benda serupa. Tak apa. Biasa, yang penting gayung berhasil keluar dari kotak-kotak kayu penyimpanan.

Pelan, sangat pelan. Ruang 2x2 yang super adem ini membuat bokong harus ku jentitkan lebih tinggi lagi, mengunci air lebih kuat. Lantainya yang basah membawa getar sampai setengah badan. Kunci pun sedikit kendor. Maap, air itu sedikit tidak sabar. Dia segera ingin pulang ke rumah. Lubang telah memanggilnya. Eits, tahan dulu! Kanan kiri, kanan kiri. Likukan bokong berhasil mencuri perhatian, membuat air bingung untuk pulang. Ya, aku harus meronggeng. Tapi kali ini aku tidak disawer. Perhatiannya sudah cukup bagiku.
“Permisi.”
Legging lewat sebentar. Dia ingin melihat tari dari atas paku yang tertancap. Lalu gadis bunga yang habis bermain gerimis ikut menyaksikan dari atas. Beda dua paku. Pertunjukan selesai! Dia pulang. Raut wajahnya tampak senang. Gemericik lompatan yang riang di atas porselin. Usai mereka pergi, aku iba. Ku kirim teman bermain untuknya. Tidak perlu ditakar, satu gayung aku berikan. Bahkan lebih. Aku memang majikan yang baik.

Sekarang giliran rumahku yang menjadi pesing. Rumput-rumput tampak layu dan dinding terlihat kusam. Ku raih sabun dalam gayung hijau yang telah kuselamatkan tadi. Remas dan sesekali memutarnya. Harum. Aku berharap harum ini pindah ke rumahku. Bagaimana pun juga, aku berharap rumah ini akan menjadi keluarga yang bahagia. Aku ingin orang yang berada di dalamnya merasa nyaman. Suamiku tidak bosan untuk selalu pulang dan dari sini pula lahir keturunan yang baik. Amin. Aku rasa sudah cukup harum. Bilas. Lap agar tidak lembab, seperti ruangan ini.

Ku kenakan celana untuk melindunginya. Dua potong, dalam dan luar. Apa? Bau? Aku memang memakai celana, tapi bukan yang tadi. Mereka sudah terkontaminasi. Aku tidak mau keharuman yang baru saja melekat, hilang dicuri gadis berbunga yang tidak sempat meneduh saat gerimis datang. Aku juga tidak mau rumahku tak laku dijual hanya karena, bau! Tapi bukan berarti aku akan menjual rumah ini dengan obralan! Untuk hal ini, aku perlu sedikit perfeksionis. Rumah ini akan aku jual pada lelaki yang aku cintai. Tidak ada tawar-menawar! Begitulah. Aku kenakan celana. Nyaman.


(Jogja, 31 Juli 2010)