Kamis, 12 Agustus 2010

Siapa yang Menang

Setapak jalan mulai sepi. Beberapa kulihat para lelaki berkumpul di persimpangan gang, di sebuah bangunan ala kadarnya. Tanpa pintu, tanpa jendela. Ya, warga bilang itu 'Pos Ronda'. Pos yang selalu ramai dijaga bapak kepala rumah tangga. Mereka tampak senang. Tawa khas pria dewasa cukup menggelegar di antara tiang-tiang penyangga. Sambil menepuk-nepuk kartu, lalu diedar sesuai arah jarum jam, dan dibukanya perlahan. Satu demi satu kertas persegi itu diatur, besar kecil, merah hitam, tunggal jamak. Lalu para mata itu mulai melirik kanan dan kiri, seperti penari Bali. Namun tak seelok yang aslinya. Mereka mencoba mencuri ekspresi lawan, membacanya, kemudian menebak langkah yang kan diambil. Sebagian tertangkap sedang meringis dan sebagian lagi mengerutkan kening.

"Hmmmm, aku siap!"
Begitulah tantang jepit kuning pada pemain yang mulai panik dengan strateginya. Rupanya jepitan itu sudah tak sabar menggoda pria-pria 'tak beristri' ini.
"Ya, kapan lagi bisa mencubit dagu pria tampan itu?! Apalagi jenggot kecil yang baru saja dicukurnya. Pasti geli!"
Si merah pun kian menggoda di tengah malam yang sengit. Lalu gemuruh jepit lain pun saling saut-menyaut.

Bapak-bapak itu masih tidak peduli. Mereka terlalu fokus dengan ratu cantik dan badut istana. Raja-raja mulai tumbang seiring daun-daun berguguran. Banyak hati yang terluka karena kekuasaan, karena keacuhan nikmat sesaat. Tidakkah mereka lihat itu? Ya, permainan ini memang mengasyikan dan seperti itulah ritualnya. Tidak hanya sekali, kemudian diulang dan diulang.


(Boyolali, 12 Agustus 2010)