Aku
hanya ingin seorang imam yang bisa memimpin keluarganya shalat. Aku hanya ingin
seorang imam yang bisa membantuku membesarkan anak yang shaleh. Aku hanya ingin
seorang imam yang menjadikan aku wanita sholehah. Aku hanya ingin seorang imam
yang menuntun keluarganya ke surga. Aku hanya ingin seorang imam yang
menyermpurnakan imanku. Terlalu berlebihkah permintaanku ini, Tuhan?
Mungkin
memang salah jika aku menggunakan kata “hanya”, karena aku banyak meminta dari
laki-laki itu. Namun apakah aku sendiri bisa menjadi perempuan yang dia
inginkan? Apakah aku pantas meminta lebih atas kekuranganku?
Atau
aku harus menanyakan pertanyaan dasar kepadanya, apakah dia juga mencintaiku? Apakah
aku adalah perempuan yang dia nanti?
Aku
menemukanmu dengan curang. Seperti permainan bola dengan pemain cadangan. Kamulah
cadangan itu, yang menunggu permainan di tepi lapangan. Kamu harus menunggu
pemain yang keluar, lalu kamu bisa beraksi. Sementara aku, seorang pelatih
jahat yang memainkanmu.
Aku
tidak pernah mencarimu karena kamu sudah menungguku. Aku biarkanmu mengejar
karena aku sedang tak ingin menangkap. Aku masih lelah. Bahkan aku terlalu
takut akan kehadiranmu yang tiba-tiba. Aku sadar aku gak mungkin terus
menghindar. Aku sadar suatu saat aku akan jatuh cinta lagi. Hanya saja, aku
ingin memastikan bahwa aku benar-benar jatuh cinta dengan alasan yang mampu
buat aku bertahan.
Dan
ketika kau selamatkan kehormatanku, ketika kau minta jilbab ini untuk bertahan,
aku tersentak. Aku tahu hari ini akan tiba, dimana Tuhan telah mengirimkan
seorang pria yang kan menjaga keyakinanku. Tuhan mengirimmu untuk
menyempurnakan imanku. Demi nama-Nya, aku mencintaimu. Aku temukan alasan untuk
jatuh cinta padamu. Aku temukan orang yang kan ku kirimkan doa. Aku temukan
seorang imam.
Bodohnya,
aku bukan peramal! Itu hanya suara hati yang girang. Bahkan sampai sekarang,
Tuhan belum membalas suratku.
Pria
itu menghilang hari ini, kemarin, tanpa kabar. Aku tunggu di antara sujud dan
pinta. Aku tunggu sebuah pesan meski itu kata singkat. Aku akan tunggu hingga
lelah, karena aku yang memulainya. Apakah aku menjadi rendah mengejarnya? Tuhan aku sudah dewasa, kenapa kau masih saja bermain petak umpet?
Sekian
harapanku. Maaf, aku jatuh lebih dulu. Jika sempat, aku ingin bertemu. Aku ingin
pastikan ini bukan sekedar ramalanku. Jika Tuhan ijinkan, kita mulai saat itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar