Senin, 08 Agustus 2011

Seorang Imam yang Aku Cari


Aku hanya ingin seorang imam yang bisa memimpin keluarganya shalat. Aku hanya ingin seorang imam yang bisa membantuku membesarkan anak yang shaleh. Aku hanya ingin seorang imam yang menjadikan aku wanita sholehah. Aku hanya ingin seorang imam yang menuntun keluarganya ke surga. Aku hanya ingin seorang imam yang menyermpurnakan imanku. Terlalu berlebihkah permintaanku ini, Tuhan?

Mungkin memang salah jika aku menggunakan kata “hanya”, karena aku banyak meminta dari laki-laki itu. Namun apakah aku sendiri bisa menjadi perempuan yang dia inginkan? Apakah aku pantas meminta lebih atas kekuranganku?


Atau aku harus menanyakan pertanyaan dasar kepadanya, apakah dia juga mencintaiku? Apakah aku adalah perempuan yang dia nanti?

Aku menemukanmu dengan curang. Seperti permainan bola dengan pemain cadangan. Kamulah cadangan itu, yang menunggu permainan di tepi lapangan. Kamu harus menunggu pemain yang keluar, lalu kamu bisa beraksi. Sementara aku, seorang pelatih jahat yang memainkanmu.

Aku tidak pernah mencarimu karena kamu sudah menungguku. Aku biarkanmu mengejar karena aku sedang tak ingin menangkap. Aku masih lelah. Bahkan aku terlalu takut akan kehadiranmu yang tiba-tiba. Aku sadar aku gak mungkin terus menghindar. Aku sadar suatu saat aku akan jatuh cinta lagi. Hanya saja, aku ingin memastikan bahwa aku benar-benar jatuh cinta dengan alasan yang mampu buat aku bertahan.

Dan ketika kau selamatkan kehormatanku, ketika kau minta jilbab ini untuk bertahan, aku tersentak. Aku tahu hari ini akan tiba, dimana Tuhan telah mengirimkan seorang pria yang kan menjaga keyakinanku. Tuhan mengirimmu untuk menyempurnakan imanku. Demi nama-Nya, aku mencintaimu. Aku temukan alasan untuk jatuh cinta padamu. Aku temukan orang yang kan ku kirimkan doa. Aku temukan seorang imam.

Bodohnya, aku bukan peramal! Itu hanya suara hati yang girang. Bahkan sampai sekarang, Tuhan belum membalas suratku.

Pria itu menghilang hari ini, kemarin, tanpa kabar. Aku tunggu di antara sujud dan pinta. Aku tunggu sebuah pesan meski itu kata singkat. Aku akan tunggu hingga lelah, karena aku yang memulainya. Apakah aku menjadi rendah mengejarnya? Tuhan aku sudah dewasa, kenapa kau masih saja bermain petak umpet?

Sekian harapanku. Maaf, aku jatuh lebih dulu. Jika sempat, aku ingin bertemu. Aku ingin pastikan ini bukan sekedar ramalanku. Jika Tuhan ijinkan, kita mulai saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar