Minggu, 09 Oktober 2011

Kopi Tidak Selalu 'Hitam'


Ketika mendengar ‘kopi’, maka gambaran secangkir air berwarna hitam, harum, pekat, panas, dan pahit-pahit manislah yang akan muncul lebih dulu. Minuman yang berasal dari Ethiopia ini sudah menemani penduduk dunia lebih dari 3000 tahun[1]. Di Indonesia sendiri kopi sudah tumbuh pesat pada masa kolonial Belanda.
Kopi yang sudah banyak menjadi teman sejati dedline, memang lebih cenderung hidup di malam hari—meski tidak jarang kopi menjadi pembuka pagi sebelum beraktifitas. Kopi menjaga manusia dari rasa kantuk—sebagaimana fungsi kafein di dalamnya. Kopi yang kemudian berbeda dari peraturan alam manusia—siang bekerja, malam istirahat—membuat komunitasnya sendiri. Kopi menjelma tamu agung yang sengaja dipesan guna mencairkan hati yang dingin, lidah yang kelu, dan suasana yang asing.
Keistimewaan ‘si hitam’ ini lalu melahirkan sebuah arena khusus bagi pecintanya. Warung kopi atau kafe adalah ruang publik yang sengaja dicipta guna melepaskan atribut “kemunafikkan”. Ya, di sinilah zona bebas[2]. Apapun bisa dibincangkan, berdebat, dan diskusi. Dari yang mikro hingga makro, dari kasus teman sekelas sampai urusan negara, dengan gaya yang kamu suka. Berteriak, jegang, terbahak, mengumpat, bahkan yang tak bersuara sekalipun. Inilah ruang pemcah malam.
Tidak hanya itu, kopi pun menyimpan ragam makna dalam dirinya. “Habis manis, sepah dibuang”, merupakan salah satu pepatah yang terinspirasi dari sisa produksi kopi atau lebih dikenal dengan ampas kopi. Kopi yang telah dijadikan minuman selalu meninggalkan ampas di dasar cangkirnya, sedangkan nikmatnya kopi telah habis ditegak peminum. Hal ini menggambarkan sifat manusia yang mengutamakan kepentingan. Bagi mereka jika suatu objek sudah tak memiliki manfaat, maka tak berarti lagilah objek tersebut. Kasarnya, dibuang.
Namun kopi tak selamanya ‘hitam’, tak selamanya hidup di malam hari, tak selamanya berarti buruk. Kopi memiliki sudut pandang lain dalam melihat masalah. Kopi adalah sebuah biji yang kuat. Meski dihancurkan dan dipanasakan dalam ‘dapur penyiksaan’, kopi tetap mampu menghasilkan aroma yang memikat[3]. Bahkan semakin lama dia dalam bara api, semakin tinggi citarasa yang dihasilkan. Hebatnya lagi, kopi tetap dengan dirinya yang hitam meski telah menjadi nikmat.
Kopi memberi pelajaran untuk tidak mudah putus asa. Bahwa menjadi hebat itu butuh proses, dan kopi tidak pernah meniru siapa pun. Pada akhirnya dia tetaplah kopi.
So, nikmati kopimu!


[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Kopi
[2] Islami, Jihan Riza. 2010. “Geliat di Warung Kopi”. Ekspresi. Agustus. Nomor XXIII
[3] Marpaung, Parlindungan. 2006. Setengah Isi Setengah Kosong. Bandung: MQS Publishing

Tidak ada komentar:

Posting Komentar