Sabtu, 10 April 2010

Superhero yang Terlupakan

Siapa yang tidak kenal dengan Superman? Manusia super yang mempunyai kekuatan luar biasa dengan ciri khas pada kostumnya yang bersayap dan berlambangkan huruf ‘S’ tepat di tengah dadanya atau Si Spiderman, pahlawan kebaikan yang merayap-rayap di tembok dan menyeberangi tiap gedung dengan jaring laba-labanya. Hampir semua element masyarakat mengenal kedua tokoh tersebut. Tokoh yang berlaga dalam dunia Hollywood ini menjadi sebuah fenomena dengan sosok kepahlawanan mereka yang dirindukan oleh banyak orang dan dalam seketika menjadi idola khususnya untuk anak-anak.


Selain itu ada juga sosok jagoan yang berbentuk animasi atau film kartun seperti Naruto dan Samurai X serta para jagoan lainnya yang tampil kejar tayang tiap satu minggu sekali seperti Power Rangers dan Ultraman. Mereka juga menjadi tontonan favorite anak-anak sembari mengisi waktu bermain di rumah.

Tapi tahukah kita? Jauh sebelum datangnya para jagoan tersebut, Gatotkaca, Srikandi, Si Pitung, dan kawan-kawan lainnya telah lebih dulu membasmi kejahatan di muka bumi. Kisah mereka telah melegenda dalam buku-buku cerita rakyat yang tersusun rapi di perpustakaan dan menjadi pementasan wayang kulit ataupun ketoprak. Mereka telah menjelajahi langit bertahun-tahun lamanya. Dan pada akhirnya mereka terbang terlalu jauh hingga mereka tak lagi terlihat. Lantas apa yang terjadi dengan mereka? Ke mana perginya superhero-superhero tersebut? Superhero asli Indonesia kini telah tenggelam bersama dengan kesaktiannya.

Kiasan di atas jelas menggambarkan superhero Indonesia yang tersingkirkan dengan datangnya jagoan baru yang memiliki tampilan lebih menarik dan cerita yang lebih menegangkan. Anak-anak sekarang lebih suka duduk anteng berjam-jam di depan layar kaca melihat Naruto ataupun Power Rangers berlaga daripada harus pergi ke perpustakaan dan membaca buku cerita tentang Si Buta dari Goa Hantu. Bahkan baju bergambarkan Batman dan Ultraman lebih banyak peminatnya daripada baju bergambarkan Gatotkaca yang dilukiskan dengan wayang dan tergantung di kios-kios daerah pariwisata seperti Candi Prambanan dan Malioboro. Berikut artikel yang menggambarkan mulai memudarnya Gatotkaca dalam ingatan anak-anak.

[1]Kekuatan “daya jelajah” dan kepopuleran Gatotkaca dan Superman memang jauh berbeda. Superman yang semula merupakan produk komik Amerika dan kemudian diadopsi dalam film produksi Hollywood telah berhasil dikenal ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Kepopulerannya tidak ada yang meragukan lagi. Sementara itu, Gatotkaca meski juga sangat populer, namun kepopulerannya baru sebatas wilayah Pulau Jawa. Paling luas hanya di Indonesia, atau sebagian kecil dunia Barat yang mengenal pewayangan. Yang pasti, tidak melegenda dalam imaji anak-anak, seperti Superman.
 Ketika membandingkan kedua tokoh superhero di atas, dapat pula dilihat kekuatan pengaruh dan perbedaan kedua budaya negara asal dua tokoh itu, Amerika Serikat (AS) dan Indonesia. Film-film Hollywood memegang faktor penting dalam penyebaran budaya AS. Film-film Hollywood--termasuk Superman--yang dibintangi aktor maupun aktris kelas dunia, yang dicitrakan sebagai sosok ideal, telah berhasil merebut hati para penontonnya karena film itu diproduksi dengan modal yang besar, diciptakan dengan gaya ringan namun fantastis. Sumber utama konflik dunia baru tidak lagi persoalan ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Budaya akan memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik yang paling dominan.
 Melihat hal itu, kiranya dominasi Superman perlu mendapat perhatian khusus dari semua pihak, agar kemudian tidak terjadi dominasi Barat. Kiranya kekuataan Gatotkaca perlu dibangun lebih kuat agar Superman mempunyai “rekan” yang sejajar sehingga tak terjadi dominasi yang meniadakan yang lain? Monggo Pak “Dalang”.

Ketika AS punya Superman sebagai aktor dalam mempromosikan suatu budaya, kita juga punya Gatotkaca, Si Pitung, Srikandi, Anoman, dan kawanan lainnya untuk menjalankan peran itu. Mereka merupakan warisan budaya berupa cerita rakyat yang dikemas melalui seni permainan wayang kulit ataupun melalui pertunjukan drama. Selain itu mereka juga sebagai perwakilan dalam cerita untuk  menyajikan unsur-unsur kehidupan dalam masyarakat melalui karakter dari masing-masing tokoh serta menyampaikan pesan moral dan nilai leluhur kepada masyarakat. Hal ini merupakan wujud dari pelestarian budaya.

Berikut beberapa contoh karakter dan kisah superhero Indonesia yang telah mewarnai jagat raya ibu pertiwi:
  •  Gatotkaca[2] 
Gatotkaca adalah seorang kesatria dari Pringgandani. Dia seorang kesatria yang sakti luar biasa. Gatotkaca diibaratkan berotot kawat, bertulang besi. Selain itu dia punya kesaktian bisa terbang tanpa sayap dan tidur di awan atau langit.
  • Srikandi[3] 
Srikandi adalah prajurit wanita yang sangat pandai memanah. Ia belajar memanah dari sang suami, Arjuna. Selain itu Srikandi adalah seorang wanita yang banyak bicara, namun dia dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik, jujur, setia pada suami, dapat bertatakrama dengan sopan dan satun pada siapa pun, ramah, dan selalu membela kebenaran. Srikandi menjadi sosok pahlawan wanita yang sangat populer.
Si Pitung adalah pendekar asli dari Jakarta yang melawan ketidakadilan yang timbul dari kebijakan penguasa Hindia Belanda. Si Pitung disebut juga sebagi Robin Hood ala Betawi karena kisahnya yang mirip yaitu mencuri uang dan barang-barang orang kaya yang kemudian hasil curian tersebut dibagikan kepada orang-orang miskin. Si Pitung dikenal dengan sosok muslim yang sholeh dan menjadi contoh suatu keadilan sosial.
  • Anoman (Hanoman)[5]
Hanoman adalah putera Dewi Anjani. Walaupun tubuh dia ditumbuhi bulu-bulu lebat sehingga wujudnya menyerupai seekor kera, tetapi Hanoman memiliki jiwa satria yang selalu membela kebenaran, jujur, suka berbuat kebajikan, suka membantu siapa pun yang sedang susah, dan setia.

Setelah mengetahui segelintir karakter dan asal-usul superhero di atas, lantas timbul pertanyaan apa yang membedakan antara superhero Indonesia dengan superhero yang ramai berakting di layar kaca? Secara tugas, mereka semua mempunyai tugas yang sama yaitu membasmi orang-orang jahat. Mereka juga sama-sama mempunyai kekuatan super. Namun dibalik itu, ada beberapa aspek yang membedakan antara superhero Indonesia dengan superhero luar negeri.

Jagoan Indonesia tidak hanya menyuguhkan kisah-kisah kepahlawanan tetapi juga memberikan ajaran tentang budi pekerti di dalam lakon-lakonnya. Seperti Arjuna yang membawa nilai kehidupan yang diantaranya adalah:[6]
  • Siapa menanam kebaikan maka akan memetik hasilnya.
  • Watak kesatria itu suka menolong.
  • Jangan sombong walaupun memiliki kelebihan (kesaktian).
  • Untuk membela negara, jangan melihat siapa musuhnya tetapi tekad membasmi angkara murka
  • Siapa yang berusaha sunguh-sunguh akan dapat berhasil dalam mencapai cita.
 Hal ini membuktikan bahwa jagoan Indonesia tidak sekedar sebagai tontonan yang menghibur, tetapi juga sebagai tuntunan moral bangsa. Tiap adegan yang dimainkan oleh masing-masing tokoh ialah perkembangan kejadian bagaimana moralitas kolektif tercermin dalam jalinan kejadian.[7] Lakon-lakon tersebut dapat digunakan sebagai media penanaman budi pekerti melalui pengenalan yang dilakukan baik dari keluarga, sekolah, maupun masyarakat sehingga dapat membentuk karakter yang berjiwa kesatria pada diri seseorang terutama anak-anak. Tokoh tersebut merupakan figur atau gambaran sosok ideal dalam kehidupan sehari-hari.[8] 

Superhero Indonesia juga membawa kebudayaan dari tanah air. Ketika Hanoman, Nakula Sadewa, Arjuna, dan Srikandi berlaga, maka mereka membawa kebudayaan jawa sebagai asal usul mereka. Begitu juga dengan Si Pitung. Pendekar dari Betawi ini tentu membawa citra diri khas betawinya tersebut. Hal ini tidak terlepas dari tujuh unsur kebudayaan yang di ungkapkan oleh C. Kluckhohn dalam karyanya yang berjudul Universal Catagories of Culture yang salah satu unsurnya adalah kesenian.[9] Di sini para tokoh masuk ke dalam seni sastra, khususnya drama yang tergambar melalui pewayangan dan cerita rakyat di mana superhero tersebut dapat dinikmati dengan mata dan telinga.[10] Kebudayaan yang dibawa oleh masing-masing tokoh tercermin dari alur cerita yang mereka mainkan dan juga pakaian beserta accessories yang mereka kenakan serta senajata yang digunakan untuk membasmi musuh-musuh bebuyutan.

Kelebihan lain dari kisah jagoan Indonesia adalah cerita tersebut mengandung nila sejarah. Cerita rakyat yang secara sengaja menggunakan peristiwa sejarah sebagai bahan mempunyai ikatan kepada historical truth, sekalipun kebenaran sejarah itu juga bersifat relatif.[11] [12]Contoh cerita Si Pitung dari Jakarta. Menurut orang Indonesia, Si Pitung adalah pahlawan yang peduli dengan rakyat kecil karena dia selalu memberikan bantuan berupa materi dan kekuatan. Namun menurut versi Belanda, Si Pitung adalah seorang pencuri ulung yang mengambil harta para bangsawan Belanda.

 Dengan kelebihan-kelebihan tersebut seharusnya superhero Indonesia bisa lebih eksis dibandingkan superhero produk Hollywood. Tetapi mengapa orang-orang barat itulah yang mampu merebut perhatian masyarakat Indonesia? Perlu cara untuk membuat masyarakat menengok kembali superheronya. Berikut di bawah ini beberapa cara atau tips untuk mengembalikan kejayaan pendekar Indonesia:
  • Membuat penyuguhan yang berbeda
Penyuguhan di sini adalah bagaimana kita menampilkan superhero Indonesia ke bentuk yang lebih menarik dan dapat dinikmati semua kalangan. Kita bisa membuat film layar lebar ataupun film kartun yang mengisahkan tentang Gatotkaca atau Si Pitung dengan tampilan yang sama—kostum yang sesuai tanpa dibuat-buat menjadi modern—serta memakai aktor masa kini dan teknologi canggih agar masyarakat tertarik untuk menontonnya. Tentu tanpa menghilangkan esensi dalam cerita sebenarnya.
Penyuguhan lainnya bisa berupa buka cerita bergambar atau komik yang menjadi buku bacaan favorite anak-anak maupun remaja. Cara ini juga efektif karena anak-anak cendrung menyukai buku yang disertai dengan gambar-gambar yang lucu serta mempermudah mereka untuk memahami ceritanya. Selain memperkenalkan jagoan-jagoan kita, komik juga dapat memacu minat membaca seseorang serta dapat memajukan perkomikan Indonesia.

  • Menyelipkan dalam kehidupan sehari-hari
Cerita-cerita kepahlawanan Gatotkaca dan kawan-kawan dapat dimasukkan ke dalam sebuah metode pemebelajaran. Misalkan melalui metode latihan yang kemudian disambung dengan metode bermain peran dan diskusi.[13] Awalnya siswa diceritakan tentang kisah-kisah kesatriaan mereka. Kemudai siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan memainkan drama sesuai cerita yang mereka pilih, dan di akhir mereka berdiskusi tentang tokoh-tokoh dal cerita tersebut, bagaimana alurnya, serta pesan-pesan yang disampaikan di dalamnya.
Hal di atas tidak hanya dilakukan dalam lingkup belajar formal, tapi juga bisa diterapkan dalam keluarga. Bagaimana seorang ibu membacakan cerita sebelum tidur tentang kisah pendekar-pendekar tersebut, sehingga proses pengenalan dapat berjalan secara terus menerus dan dapat membentuk karakter kesatria.

Gatotkaca, Srikandi, Arjuna, Si Pitung, Hanoman, dan kawan-kawan seperjuangan lainnya dalah warisan budaya. Kita sebagai warga negara seharusnya bangga dengan produk dalam negeri karena kita mempunyai jagoan-jagoan yang telah berkelana selama ratusan tahun yang lebih dulu membasmi kejahatan dan ketidakadilan di muka bumi ini. Mereka merupakan ciri khas Indonesia yang perlu dilestarikan. Kisah mereka menjadi icon tersendiri untuk bangsa Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2008. Budi Pekerti Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang
Jatirahayu, Warih dan Margono Notopertomo. 2000. Pakartitawa. Klaten: CV Sahabat
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Koran Kompas. Selasa, 31 Mei 2005. Superman yang Pragmatis Versus Gatotkaca yang Adiluhung dalam Praksis Kebudayaan Global. Jakarta
Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya
Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press


[1] Diambil dari Koran Kompas edisi Selasa, 31 Mei 2005
[2] Jatirahayu, Warih dan Margono Notopertomo. 2000. Pakartitawa. Klaten: CV Sahabat (hlm 10)
[3] Jatirahayu, Warih dan Margono Notopertomo. 2000. Pakartitawa. Klaten: CV Sahabat (hlm 70)
[5] Jatirahayu, Warih dan Margono Notopertomo. 2000. Pakartitawa. Klaten: CV Sahabat (hlm 46)
[6] Jatirahayu, Warih dan Margono Notopertomo. 2000. Pakartitawa. Klaten: CV Sahabat (hlm 6)
[7] Kuntowioyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana Yogya (hlm 139)
[8] Endraswara, Suwardi. 2008. Budi Pekerti Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang (hlm 63)
[9] Soekanto, Soerjono. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada (hlm 154)
[10] Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta (hlm 387)
[11] Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya (hlm 132)
[13] Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press (hlm 82-83)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar