Jumat, 29 Oktober 2010

Karena Kamu, Aku Jatuh Cinta

Inilah kisah yang kesekian kalinya tertulis. Suatu kisah yang tentu familiar untuk kalian dengar bahkan kalian alami. Dan bisa jadi kalian pun muak dengan ini. Ya, dialah cinta. Satu kata beribu makna, satu ucap beribu rasa, satu hal beribu jiwa. Klasik bukan? Hah, cinta? Tapi aku tak peduli dengan itu. Toh aku dan kamu sama. Kita manusia yang ditakdirkan untuk jatuh cinta.

Ini bukan pertama kalinya aku jatuh cinta. Jauh sebelum ini, bahkan terlalu dini untuk mengenal cinta, aku telah jatuh cinta. Dengan seorang lelaki yang biasa-biasa saja, tapi menurutku dia istimewa. Itulah salah satu keajaiban cinta, membuat kita menjadi istimewa. Tak banyak yang aku dapat dari dia, karena menyentuhnya pun aku tak sanggup. Entah dia yang terlalu jauh, atau aku yang terlalu takut. Tapi setidaknya aku menemukan sebuah keikhlasan dalam mencintainya. Dan cerita tentangnya telah kuberi ruang tersendiri, di antara orang-orang yang silih berganti.

Cukup lama, sekitar enam tahun, aku temukan seorang arsitek baru untuk membangun ruang lain dalam hatiku. Dengan design yang baru, bata yang baru, perabotan baru, alamat baru, warna yang baru, dan cinta yang baru, Semua serba baru karena kami mencoba membangun sebuah rumah dari dasar tanah, yang semakin hari semakin tinggi. Perpaduan gaya arsitektur yang berbeda, membuat kami semakin kaya dalam berbagi. Banyak hal yang dia beri dalam ruang itu. Termasuk memasang jendela di setiap sudut tembok, agar aku bisa melihatnya dengan sisi yang berbeda, dengan sisi yang mungkin tak banyak orang tahu. Bahkan dia membuat sebuah labirin yang cukup rumit, yang sering membuat aku lelah untuk menemukan jalan keluar.

Tapi bangunan itu belum selesai. Masih rapuh, masih banyak yang harus dibenahi. Itulah yang menjadi penantianku kini. Penantian yang belum menemukan ujungnya. Aku pun masih menunggu arsitek itu kembali, setidaknya sampai dia selesai dengan tugasnya yang lain. Atau mungkin bangunan ini terlalu megah untuk berdiri, dan kami pun tak sanggup menyelesaikannya.

Setidaknya bangunan sederhana ini sudah cukup membuat aku nyaman, membuat aku menjadi seorang perempuan seutuhnya. Aku pun tak perlu lagi pergi keliling dunia mencari eiffel, taj mahal, piramid, prambanan, atupun batu yang lainnya, karena kamu adalah dunia itu. Cukup dengan mengenalmu lebih dalam, aku bisa tahu tentang apa itu hidup dan apa itu cinta.

Dan ketika hari itu tiba, ketika kau harus pergi dengan alasan yang tak mungkin aku elak, aku ingin sendiri menikmati sisa bata yang tersusun ini. Jangan juga kau coba hapus air mataku. Biarkan aku menangis, karena ini cara yang aku tahu untuk melepasmu...

(Jogja, 29 Oktober 2010)

Sabtu, 23 Oktober 2010

Rumah Pesakitan

Ada jeritan manusia yang siup-siup terdengar di antara dengkuran para pengunjung. Jerit yang merintih sakit dan nyilu. Jerit rontak antara jiwa dan tubuh. Manusia yang kini sadar betapa indahnya berlari, betapa indahnya bumi, dan betapa indahnya keluarga kami, kini harus tidur bersama selang yang menjuntai dan menusuk kulitnya, menghirup oksigen (yang terbatas) dan tak dibagi. Batuk pun semakin mendeguk dikala malam tak lagi riuh. berteman panas yang menggigilkan jemari dan kulit ari. Dia terbaring tak berdaya, bahkan kotoran pun tak bisa dibuangnya sendiri.

Terdengar ironiskah? Terlalu memilukankah? Kurasa tidak. Cukup wajar diusianya yang tak lagi muda. Hampir setiap lelaki sepertinya mengalami hal serupa. Bahkan di ruangan itu, dia tak sendiri. Seorang lelaki sebayanya pun sering meronta lebih keras, lebih riuh, dan lebih mengerikan. Entah sehebat apa rasa sakit itu. Tapi yang jelas, dia sudah lebih tenang sekarang, bahkan lebih tenang dibanding yang lain. Dia pergi lebih dulu.

Aku masih duduk menikmati jerit yang kadang membuatku pilu. Tapi itulah cara mereka menyampaikan kata yang tak sanggup diucapkan, dan aku mengerti. Kadang jerit itu seperti menggambarkan simbol yang harus kubaca dengan pelan. Setelah paham, kulakukan apa yang dimaksud. Mengambil pispot mungkin, mengambil air hangat, mengompres, atau sekedar menengok dan memastikan dia baik-baik saja.

Akhirnya aku hanya berharap, Tuhan beri aku waktu lebih lama bersamanya..

(Kartasura, 23 Oktober 2010)