Sabtu, 23 Oktober 2010

Rumah Pesakitan

Ada jeritan manusia yang siup-siup terdengar di antara dengkuran para pengunjung. Jerit yang merintih sakit dan nyilu. Jerit rontak antara jiwa dan tubuh. Manusia yang kini sadar betapa indahnya berlari, betapa indahnya bumi, dan betapa indahnya keluarga kami, kini harus tidur bersama selang yang menjuntai dan menusuk kulitnya, menghirup oksigen (yang terbatas) dan tak dibagi. Batuk pun semakin mendeguk dikala malam tak lagi riuh. berteman panas yang menggigilkan jemari dan kulit ari. Dia terbaring tak berdaya, bahkan kotoran pun tak bisa dibuangnya sendiri.

Terdengar ironiskah? Terlalu memilukankah? Kurasa tidak. Cukup wajar diusianya yang tak lagi muda. Hampir setiap lelaki sepertinya mengalami hal serupa. Bahkan di ruangan itu, dia tak sendiri. Seorang lelaki sebayanya pun sering meronta lebih keras, lebih riuh, dan lebih mengerikan. Entah sehebat apa rasa sakit itu. Tapi yang jelas, dia sudah lebih tenang sekarang, bahkan lebih tenang dibanding yang lain. Dia pergi lebih dulu.

Aku masih duduk menikmati jerit yang kadang membuatku pilu. Tapi itulah cara mereka menyampaikan kata yang tak sanggup diucapkan, dan aku mengerti. Kadang jerit itu seperti menggambarkan simbol yang harus kubaca dengan pelan. Setelah paham, kulakukan apa yang dimaksud. Mengambil pispot mungkin, mengambil air hangat, mengompres, atau sekedar menengok dan memastikan dia baik-baik saja.

Akhirnya aku hanya berharap, Tuhan beri aku waktu lebih lama bersamanya..

(Kartasura, 23 Oktober 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar