Selasa, 14 Desember 2010

Bolehkah Aku Memiliki Hari Ini?

Sore ini di tempat yang dulu. Suara-suara khas itu masih riuh, masih bising, tidak beraturan, saling saut. Tapi aku suka, aku rindu. Entahlah, sejenak saja di sini, aku bisa sembunyi dari kamu yang terus mengejarku, terus meneror. Aku tahu, aku pengecut dan aku lari. Aku pun menjadi tak peduli dan hanya diam. Mungkin kamu akan bilang aku acuh. Terserahlah, toh semua orang boleh berasumsi. Ini negara HAM bukan? Aku hanya ingin sendiri.

Jumat, 03 Desember 2010

Anakku Timang, Anakku Buang

Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia
Sejenak lagu “Kasih Ibu” karya S.M Moctar ini mengajak kita kembali mengenang betapa besar kasih sayang yang diberikan seorang ibu kepada anaknya. Bagaimana tidak? Ibu rela mengandung sembilan bulan dengan bobot yang luar biasa dan merusak tubuh langsingnya. Kemudian kita lahir dan menyita begitu banyak waktunya hanya untuk membuat kita merasa nyaman berada di dunia yang baru.
Namun bagaimana dengan kasus seorang ibu yang membunuh anak kandungnya sendiri? Apakah iya kasih sayang seorang ibu sudah tiada? Apakah iya lagu di atas sudah tidak relevan lagi di zaman serba canggih ini?

Kamis, 02 Desember 2010

Aku Tahu, Kamu Harus Pergi

Hari itu pun tiba. Busana serba hitam membuatnya sedikit lain, membuat aku tidak bisa berpaling. Ya mungkin karena ini terakhir kalinya aku bisa bersama dan itupun begitu singkat. Padahal masih banyak yang ingin aku sampaikan, hanya antara aku dan dia.

Kamis, 25 November 2010

Kebijakan yang Belum Tentu Bijak

Kenapa setiap keputusan atau ketetapan pemerintah disebut dengan kebijakan? Apakah hasil yang telah mereka rembukan berbulan-bulan adalah sebuah keputusan yang bijak untuk rakyat? Bahkan ketika proses pembuatan kebijakan itu sendiri, tidak jarang dari mereka yang tertidur pulas di atas kursi empuk. Entah latar belakang apa yang menidurkan mereka di sana, kerjaan yang membuatnya begitu lelah kah atau tidak pentingnya tema yang dibahas dan meninabobokan mereka?

Roti Bakar Ala Kos

Bosan roti tawar yang biasa-biasa aja? Mau buat roti bakar, tapi gak punya alatnya. Don't worry be jeki (gak nyambung), ada resep kos lagi nih buat bikin roti bakar dengan alat seadanya. Cekidot!

Selasa, 23 November 2010

Tak Ada Orang

Kenapa mereka bisa percaya? Apa istimewanya aku? Apa kelebihanku? Mereka terus berkata, "aku percaya! kamu pasti bisa!". Apa yang mereka lihat dari aku? Apa yang mereka tahu? Apa yang mereka mengerti tentang aku? Aku yang paling paham atas tubuh dan jiwaku. Dan yang mereka lihat, hanya permukaan yang indah. Seperti laut yang memancarkan birunya. Aku berharap satu orang saja berkata "tidak".

Semua sudah kurencanakan. Bahkan kemana besok aku melangkah, sudah tertata rapi dalam catatan. Tapi kenapa jalan menjadi kelok? Ingin aku menjadi tuli dan tak peduli dengan mereka. Berpaling muka dan berlari jauh dari mereka. Aku berharap bisa egois.

Demi Tuhan, aku ingin egois! Tapi aku gak bisa. Aku gak bisa membiarkan ruang itu kosong tak berpenghuni. Aku gak bisa mempertaruhkan nama angkatanku dari orang terdahulu. Angkatan tak berpemimpin! Angkatan pengecut! Dan yang lebih aku sayang, aku gak bisa membiarkan temanku sendiri menjadi tumbal di atas podium.

Aku hanya berharap, Tuhan sedang berteka-teki saat ini. Dan Tuhan memilih dia untuk takdir-Nya.

Minggu, 21 November 2010

Kroket Mie Ala Kos

Bahan-bahan yang dibutuhkan
  • 1 bungkus mie instant
  • 1 butir telur
  • 1 liter air
  • 3 sendok makan tepung terigu
  • 1/4 sdt garam
  • minyak
  • saus sambal atau lombok rawit
Cara membuat
  1. rebus mie instant dalam air mendidih sampai mie menjadi mekar, kemudian tiriskan. (note: bumbu dipisah).
  2. kocok telur hingga kuning dan putihnya tercampur. taburi tepung sedikit demi sedikit agar tidak menggumpal sambil terus dikocok. taburi garam sedikit.
  3. masukkan rebusan mie ke dalam kocokan telur. aduk sampai merata.
  4. masukkan bumbu mie ke dalam adonan, lalu aduk sampai merata.
  5. panaskan minyak dalam wajan atau teplon.
  6. goreng adonan membentuk melingkar (seperti menggoreng telur biasa) sampai adonan menjadi coklat kekuningan.
  7. angkat dan tiriskan.
  8. potong koroket menjadi 6 atau sesuai selera dan hidangkan bersama saus sambal atau lombok rawit.
 Kroket mie ala kos siap disantap. Selamat mencoba, selamat menikmati, selamat berproses
(note: bahan-bahan dapat disesuaikan dengan selera)

Aku Mencintaimu Sedari Dulu

"Aku suka kamu, karena bla bla bla bla..."
Begitulah awal hubungan dimulai dan kedua belah pihak sepakat untuk menjalin kasih. Penembakan merupakan awal pernyataan terhadap orang yang kita sukai dan sebagai penentu apakah cinta kita akan ditolak atau diterima. Setelah keduanya saling suka dan sepakat, maka terbentuklah status baru yang disebut pacar. Atau bisa saja sebaliknya jika pernyataan kita ditolak. Hubungan pun berlanjut hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Saling sms, saling telepon, saling wall-wall'an, saling bertemu dan bermesraan. Bahkan sering di antara kita dan pacar punya kode tersendiri untuk sebuah nama panggilan.

Sabtu, 20 November 2010

Wedang Jahe Ala Kos


Bahan yang disiapkan
  • Jahe 2 bonggol
  • Air 1 liter
  • Gula merah 1/4
Isi
  • Agar-agar
  • Roti tawar 3 lembar
Cara membuat
  1. Jahe digeprek (dipukul-pukul) sampai sedikit hancur. Hal ini memudahkan keluarnya sari-sari jahe. Ingat, jangan sampai halus!
  2. Rebus jahe yang sudah hancur ke dalam air 1 liter
  3. Campur gula merah ke dalam rebusan jahe
  4. Aduk air sampai mendidih dan bahan telah tercampur semua
  5. Potong dadu agar-agar dan roti tawar
  6. Tuangkan air jahe ke dalam mangkok
  7. Taburi agar-agar dan roti tawar yang telah dipotong dadu
  8. Bisa ditambahkan susu kental manis

Bagus buat pelega tenggorokan (yaaa sebagai pengganti obat batuk). Cocok untuk malam atau musim hujan.
Selamat mencoba, selamat menikmati...

Jumat, 19 November 2010

Relawan pun Rindu Kampung Halaman

Sore ini di salah satu daerah wisata kota Jogja. sebuah objek wisata yang mengingatkan kita akan sejarah kota pelajar ini. Ya, dialah Monumen Jogja Kembali atau akrab disebut Monjali. Sejak Merapi meletus pada tanggal 4 November 2010, Monjali berubah fungsi untuk sementara menjadi dapur umum TNI. Di mana biasanya tempat ini penuh dengan para wisatawan dan pedagang, kini barat Monjali dipenuhi para relawan dan bahan makanan. Tak ada lagi mobil atau motor yang parkir rapi di sana. Semua diganti dengan truk-truk milik angkatan bersenjata. Bahkan bukan lagi ibu-ibu rumah tangga saja yang ikut mengupas sayur, meracik bumbu, atau membungkus nasi melainkan pria-pria bertubuh padat ini pun turut mencampurinya.

Rabu, 17 November 2010

Materai 6000

Tiba-tiba saja malam ini mengantarku untuk berpikir sejenak, tentang hukum dan salah satu atributnya. Ya, dialah materai 6000. Secuil kertas yang seringkali merekat pada lembar pengesahan. Benda sebesar perangko ini sungguh sakti mandraguna! Bayangkan, jika suatu surat bertempelkan materai 6000, maka surat tersebut dinyatakan sah dalam hukum! Kalau dipikir-pikir, materai 6000 ini dijual dengan harga Rp 7.000. Cukup murah, bahkan sangat murah untuk sebuah hukum.

Selasa, 02 November 2010

Bukan Sulap, Mungkin Sihir

Anda tentu pernah dengar tentang seorang bocah yang mendapatkan anak petir (baca: batu) dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit apapun. Ya, dialah Ponari. Semenjak kejadian aneh yang menimpanya, dia dikenal sebagai dukun cilik sakti yang mampu menyembuhkan segala macam penyakit hanya dengan sebuah batu ajaib. Ini bukanlah kisah pertama tentang kekuatan supranatural yang dimiliki oleh sebagian orang saja. Kabar terbaru terkait aktivitas Gunung Merapi juga membawa cerita tersendiri tentang sebuah mitos. Warga Desa Tlogolele, Selo yang bermukim di kawasan lereng Merapi lebih percaya dengan wangsit Mbah Petruk sebagai penjaga Merapi daripada prediksi seismograf, sebuah alat pengukur gempa yang digunakan oleh Pemerintah.[1] Meski pemerintah telah mengeluarkan status pada Merapi menjadi siaga dan aktivitas Merapi yang meningkat, hal tersebut tidak merubah keyakinan warga di sekitar lereng Merapi. Seperti yang saya kutip pada Koran Solopos edisi Senin, 18 Oktober 2010, halaman 1, “Salah seorang warga Stabelan, Parto Pawiro, 65, menuturkan warga Stabelan akan mengungsi jika sudah ada ‘perintah’ dari Mbah Petruk, sesepuh yang diyakini warga sebagai penunggu Merapi.”[2] 

Jumat, 29 Oktober 2010

Karena Kamu, Aku Jatuh Cinta

Inilah kisah yang kesekian kalinya tertulis. Suatu kisah yang tentu familiar untuk kalian dengar bahkan kalian alami. Dan bisa jadi kalian pun muak dengan ini. Ya, dialah cinta. Satu kata beribu makna, satu ucap beribu rasa, satu hal beribu jiwa. Klasik bukan? Hah, cinta? Tapi aku tak peduli dengan itu. Toh aku dan kamu sama. Kita manusia yang ditakdirkan untuk jatuh cinta.

Ini bukan pertama kalinya aku jatuh cinta. Jauh sebelum ini, bahkan terlalu dini untuk mengenal cinta, aku telah jatuh cinta. Dengan seorang lelaki yang biasa-biasa saja, tapi menurutku dia istimewa. Itulah salah satu keajaiban cinta, membuat kita menjadi istimewa. Tak banyak yang aku dapat dari dia, karena menyentuhnya pun aku tak sanggup. Entah dia yang terlalu jauh, atau aku yang terlalu takut. Tapi setidaknya aku menemukan sebuah keikhlasan dalam mencintainya. Dan cerita tentangnya telah kuberi ruang tersendiri, di antara orang-orang yang silih berganti.

Cukup lama, sekitar enam tahun, aku temukan seorang arsitek baru untuk membangun ruang lain dalam hatiku. Dengan design yang baru, bata yang baru, perabotan baru, alamat baru, warna yang baru, dan cinta yang baru, Semua serba baru karena kami mencoba membangun sebuah rumah dari dasar tanah, yang semakin hari semakin tinggi. Perpaduan gaya arsitektur yang berbeda, membuat kami semakin kaya dalam berbagi. Banyak hal yang dia beri dalam ruang itu. Termasuk memasang jendela di setiap sudut tembok, agar aku bisa melihatnya dengan sisi yang berbeda, dengan sisi yang mungkin tak banyak orang tahu. Bahkan dia membuat sebuah labirin yang cukup rumit, yang sering membuat aku lelah untuk menemukan jalan keluar.

Tapi bangunan itu belum selesai. Masih rapuh, masih banyak yang harus dibenahi. Itulah yang menjadi penantianku kini. Penantian yang belum menemukan ujungnya. Aku pun masih menunggu arsitek itu kembali, setidaknya sampai dia selesai dengan tugasnya yang lain. Atau mungkin bangunan ini terlalu megah untuk berdiri, dan kami pun tak sanggup menyelesaikannya.

Setidaknya bangunan sederhana ini sudah cukup membuat aku nyaman, membuat aku menjadi seorang perempuan seutuhnya. Aku pun tak perlu lagi pergi keliling dunia mencari eiffel, taj mahal, piramid, prambanan, atupun batu yang lainnya, karena kamu adalah dunia itu. Cukup dengan mengenalmu lebih dalam, aku bisa tahu tentang apa itu hidup dan apa itu cinta.

Dan ketika hari itu tiba, ketika kau harus pergi dengan alasan yang tak mungkin aku elak, aku ingin sendiri menikmati sisa bata yang tersusun ini. Jangan juga kau coba hapus air mataku. Biarkan aku menangis, karena ini cara yang aku tahu untuk melepasmu...

(Jogja, 29 Oktober 2010)

Sabtu, 23 Oktober 2010

Rumah Pesakitan

Ada jeritan manusia yang siup-siup terdengar di antara dengkuran para pengunjung. Jerit yang merintih sakit dan nyilu. Jerit rontak antara jiwa dan tubuh. Manusia yang kini sadar betapa indahnya berlari, betapa indahnya bumi, dan betapa indahnya keluarga kami, kini harus tidur bersama selang yang menjuntai dan menusuk kulitnya, menghirup oksigen (yang terbatas) dan tak dibagi. Batuk pun semakin mendeguk dikala malam tak lagi riuh. berteman panas yang menggigilkan jemari dan kulit ari. Dia terbaring tak berdaya, bahkan kotoran pun tak bisa dibuangnya sendiri.

Terdengar ironiskah? Terlalu memilukankah? Kurasa tidak. Cukup wajar diusianya yang tak lagi muda. Hampir setiap lelaki sepertinya mengalami hal serupa. Bahkan di ruangan itu, dia tak sendiri. Seorang lelaki sebayanya pun sering meronta lebih keras, lebih riuh, dan lebih mengerikan. Entah sehebat apa rasa sakit itu. Tapi yang jelas, dia sudah lebih tenang sekarang, bahkan lebih tenang dibanding yang lain. Dia pergi lebih dulu.

Aku masih duduk menikmati jerit yang kadang membuatku pilu. Tapi itulah cara mereka menyampaikan kata yang tak sanggup diucapkan, dan aku mengerti. Kadang jerit itu seperti menggambarkan simbol yang harus kubaca dengan pelan. Setelah paham, kulakukan apa yang dimaksud. Mengambil pispot mungkin, mengambil air hangat, mengompres, atau sekedar menengok dan memastikan dia baik-baik saja.

Akhirnya aku hanya berharap, Tuhan beri aku waktu lebih lama bersamanya..

(Kartasura, 23 Oktober 2010)

Kamis, 12 Agustus 2010

Siapa yang Menang

Setapak jalan mulai sepi. Beberapa kulihat para lelaki berkumpul di persimpangan gang, di sebuah bangunan ala kadarnya. Tanpa pintu, tanpa jendela. Ya, warga bilang itu 'Pos Ronda'. Pos yang selalu ramai dijaga bapak kepala rumah tangga. Mereka tampak senang. Tawa khas pria dewasa cukup menggelegar di antara tiang-tiang penyangga. Sambil menepuk-nepuk kartu, lalu diedar sesuai arah jarum jam, dan dibukanya perlahan. Satu demi satu kertas persegi itu diatur, besar kecil, merah hitam, tunggal jamak. Lalu para mata itu mulai melirik kanan dan kiri, seperti penari Bali. Namun tak seelok yang aslinya. Mereka mencoba mencuri ekspresi lawan, membacanya, kemudian menebak langkah yang kan diambil. Sebagian tertangkap sedang meringis dan sebagian lagi mengerutkan kening.

"Hmmmm, aku siap!"
Begitulah tantang jepit kuning pada pemain yang mulai panik dengan strateginya. Rupanya jepitan itu sudah tak sabar menggoda pria-pria 'tak beristri' ini.
"Ya, kapan lagi bisa mencubit dagu pria tampan itu?! Apalagi jenggot kecil yang baru saja dicukurnya. Pasti geli!"
Si merah pun kian menggoda di tengah malam yang sengit. Lalu gemuruh jepit lain pun saling saut-menyaut.

Bapak-bapak itu masih tidak peduli. Mereka terlalu fokus dengan ratu cantik dan badut istana. Raja-raja mulai tumbang seiring daun-daun berguguran. Banyak hati yang terluka karena kekuasaan, karena keacuhan nikmat sesaat. Tidakkah mereka lihat itu? Ya, permainan ini memang mengasyikan dan seperti itulah ritualnya. Tidak hanya sekali, kemudian diulang dan diulang.


(Boyolali, 12 Agustus 2010)

Sabtu, 31 Juli 2010

Malam Ini Gerr!

Pukul 00.00. Malam ini aku terjaga. Lagi. Seperti biasa. Sepi. Jendela masih kelam, belum berbayang. Gelap. Hanya kipas yang masih memutar lagu yang sama, mengirim dingin yang sengaja menggelitik tubuhku, membuat ginjal berkerja lebih cepat dan kandung kemih pun siap untuk berproduksi. Seperti penari ronggeng yang mencari pelanggan, aku keluar dengan bokong yang sedikit ku jetitkan agar air bisa lebih sabar untuk mengalir. Ya, cukup berhasil. Setengah berlari ku tuju remang jingga di sana. Tapak kaki menelanjangi kotak-kotak es yang memberi asupan gizi lebih banyak pada kandung kemih. Sabar, sebentar lagi sampai.

Ku hampiri dulu gayung hijau yang terhimpit di antara peralatan mandi dan lainnya. Hati-hati. Jangan sampai terjatuh. Aku tak mau mereka terbangun. Terlalu ricuh untuk dini hari. Meskipun mereka berpikir itu tikus atau kucing, tapi aku bukan binatang! Ya, walaupun akan ada bunyi yang sama.
“Tok.”
Sedikit bersinggungan dengan benda serupa. Tak apa. Biasa, yang penting gayung berhasil keluar dari kotak-kotak kayu penyimpanan.

Pelan, sangat pelan. Ruang 2x2 yang super adem ini membuat bokong harus ku jentitkan lebih tinggi lagi, mengunci air lebih kuat. Lantainya yang basah membawa getar sampai setengah badan. Kunci pun sedikit kendor. Maap, air itu sedikit tidak sabar. Dia segera ingin pulang ke rumah. Lubang telah memanggilnya. Eits, tahan dulu! Kanan kiri, kanan kiri. Likukan bokong berhasil mencuri perhatian, membuat air bingung untuk pulang. Ya, aku harus meronggeng. Tapi kali ini aku tidak disawer. Perhatiannya sudah cukup bagiku.
“Permisi.”
Legging lewat sebentar. Dia ingin melihat tari dari atas paku yang tertancap. Lalu gadis bunga yang habis bermain gerimis ikut menyaksikan dari atas. Beda dua paku. Pertunjukan selesai! Dia pulang. Raut wajahnya tampak senang. Gemericik lompatan yang riang di atas porselin. Usai mereka pergi, aku iba. Ku kirim teman bermain untuknya. Tidak perlu ditakar, satu gayung aku berikan. Bahkan lebih. Aku memang majikan yang baik.

Sekarang giliran rumahku yang menjadi pesing. Rumput-rumput tampak layu dan dinding terlihat kusam. Ku raih sabun dalam gayung hijau yang telah kuselamatkan tadi. Remas dan sesekali memutarnya. Harum. Aku berharap harum ini pindah ke rumahku. Bagaimana pun juga, aku berharap rumah ini akan menjadi keluarga yang bahagia. Aku ingin orang yang berada di dalamnya merasa nyaman. Suamiku tidak bosan untuk selalu pulang dan dari sini pula lahir keturunan yang baik. Amin. Aku rasa sudah cukup harum. Bilas. Lap agar tidak lembab, seperti ruangan ini.

Ku kenakan celana untuk melindunginya. Dua potong, dalam dan luar. Apa? Bau? Aku memang memakai celana, tapi bukan yang tadi. Mereka sudah terkontaminasi. Aku tidak mau keharuman yang baru saja melekat, hilang dicuri gadis berbunga yang tidak sempat meneduh saat gerimis datang. Aku juga tidak mau rumahku tak laku dijual hanya karena, bau! Tapi bukan berarti aku akan menjual rumah ini dengan obralan! Untuk hal ini, aku perlu sedikit perfeksionis. Rumah ini akan aku jual pada lelaki yang aku cintai. Tidak ada tawar-menawar! Begitulah. Aku kenakan celana. Nyaman.


(Jogja, 31 Juli 2010)

Sabtu, 10 April 2010

Superhero yang Terlupakan

Siapa yang tidak kenal dengan Superman? Manusia super yang mempunyai kekuatan luar biasa dengan ciri khas pada kostumnya yang bersayap dan berlambangkan huruf ‘S’ tepat di tengah dadanya atau Si Spiderman, pahlawan kebaikan yang merayap-rayap di tembok dan menyeberangi tiap gedung dengan jaring laba-labanya. Hampir semua element masyarakat mengenal kedua tokoh tersebut. Tokoh yang berlaga dalam dunia Hollywood ini menjadi sebuah fenomena dengan sosok kepahlawanan mereka yang dirindukan oleh banyak orang dan dalam seketika menjadi idola khususnya untuk anak-anak.