Aku Tahu, Kamu Harus Pergi

Hari itu pun tiba. Busana serba hitam membuatnya sedikit lain, membuat aku tidak bisa berpaling. Ya mungkin karena ini terakhir kalinya aku bisa bersama dan itupun begitu singkat. Padahal masih banyak yang ingin aku sampaikan, hanya antara aku dan dia.


Aku pikir hari itu aku tidak akan sanggup menemuimu, karena aku takut menangis dan menjadi lemah. Bahkan mawar merah yang ku genggam pun sudah tidak jelas rupanya. Tapi keinginan untuk melihatmu begitu kuat. Kangen ataupun rindu, yang jelas aku ingin melihatmu di depanku, mendengar suaramu, dan menyentuhmu. Aku pun tak peduli berapa banyak orang yang berkerumun di hadapanku, aku terus mencari dan mencari, hingga Tuhan menunjukkan keberadaanmu.

Rasanya aneh, tidak biasa. Ada yang menjanggal, seperti tidak terjadi apa-apa. Mungkin aku terbawa sandiwara yang sudah berlarut-larut, atau kamu memang pandai mengaplikasikan teori Erving Goffman "Dramatugi". Yang jelas, aku jadi tidak tahu siapa aku. Aku kehilangan aku.

Selepas itu, semua masih normal. Aku masih bisa tertawa walau sedikit merenung. Dan pada akhirnya, aku tetaplah seorang manusia, seorang perempuan. Karena aku sadar, bukan melepasmu yang membuat aku menangis, tapi mengenangmulah yang membuatku terdiam. Entahlah, ini terlalu rumit. Bahkan Tuhan enggan membocorkan takdir-Nya untukku.


Aku butuh waktu untuk terbiasa, dan waktu itu menjadi misteri...