Selasa, 14 Desember 2010

Bolehkah Aku Memiliki Hari Ini?

Sore ini di tempat yang dulu. Suara-suara khas itu masih riuh, masih bising, tidak beraturan, saling saut. Tapi aku suka, aku rindu. Entahlah, sejenak saja di sini, aku bisa sembunyi dari kamu yang terus mengejarku, terus meneror. Aku tahu, aku pengecut dan aku lari. Aku pun menjadi tak peduli dan hanya diam. Mungkin kamu akan bilang aku acuh. Terserahlah, toh semua orang boleh berasumsi. Ini negara HAM bukan? Aku hanya ingin sendiri.


Aku pun kembali, ke mana dulu aku pernah bermimpi. Di sini masih ada secangkir kopi, masih ada rokok yang mulai habis terbakar, masih ada gurau lewat lagu yang nyeleneh, masih ada kalian yang mau menyambutku. Aku masih sedikit diam karena aku gak tahu harus berkata apa. Mungkinkah aku mengadu? Sepertinya tidak. Aku menyibukkan diri dengan alibi keskretarisanku. Tapi itu memang alasan pertama aku datang ke tempat itu.

Aku merasa nyaman. Tak ada aturan yang mengikat. Tak ada paksaan sikap, dan aku tak perlu berpura-pura. Mungkin itu yang disebut seni? Atau itulah kebebasan? Yang jelas aku merasa senang berada di sana. Aku pun tak sadar bahwa mendung telah membawa hujan. Aku tenggelam di persembunyianku.

Dan ketika pulang, aku teringat lagi. Kamu mengejar lagi, meneror lagi, memaksa, dan aku menangis. Aku berharap dinding kamar ini dapat mengelusku, membuatku tenang. Tapi itu hanya benda mati. Hanya benda mati.


Bolehkah aku memiliki hari ini lagi?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar