Jumat, 07 Januari 2011

Di'petakumpet'i Playstation

[1]Cublak-cublak suweng
Suwenge teng gelenter
Mambu ke tundung gudel
Pak Gempong lera-lere
Soyo ngguyu delek ake
Sir...sir pong dele gosong
Sir...sir pong dele gosong
            Batu diputar seiring lagu berjalan. Kemudian setelah sampai pada lirik “sir..sir...”, semua tangan digenggam lalu diputar-putar. Pemain yang ‘jadi’ harus menebak di tangan siapa batu tersebut berada.  Ini merupakan lirik lagu permainan tradisional yang berasal dari Pulau Jawa. Permainan ini merupakan permainan Pak Gempong menemukan anting (suweng) yang disembunyikan orang lain[2].
            Salah satu unsur kebudayaan menurut Kluckhon (dalam Koentjaraningrat, 2000: 203-204) adalah bahasa, sistem peralatan dan kesenian[3]. Permainan cublak-cublak suweng ini merupakan perpaduan antara seni, bahasa, dan peralatan. Kenapa bisa begitu? Pertama, jika kita melihat lirik lagu permainan tersebut jelas terlihat sekali permainan ini berasal dari jawa. Kedua, untuk mengibaratkan anting (suweng), anak-anak menggunakan batu sedang yang lebih mudah dicari dan sederhana. Ketiga, mekanisme permainan cublak-cublak suweng berasal dari hasil cipta imajinasi manusia yang kreatif. Kesemua alasan itu menjadi modal dasar bahwa permainan cublak-cublak suweng adalah bagian dari kebudayaan jawa.
            Tidak hanya cublak-cublak suweng, masih banyak lagi permainan tradisional untuk mengisi waktu luang anak-anak. Misalkan seperti gobak sodor, dakon, bekel, egrang, petak umpet, layangan, dan lain-lain[4]. Tapi jumlah ini tidak diimbangi dengan minat anak-anak zaman sekarang. Mereka lebih memilih perminan modern dengan teknologi canggih yang tidak mengeluarkan tenaga terlalu banyak. Bahkan permainan tersebut terlihat nyata meski berada dalam ruangan. Anak-anak pun lebih suka menamakan permainan tersebut dengan bahasa asing (Inggris), yaitu game.
            Game adalah bentuk permainan nyata yang berdimensi serta diimajinasi dan minimaliskan. Variannya pun melebihi permainan tradisional. Beberapa media game modern yang sedang merebah antara lain: playstation (dengan berbagai seri sampai yang mudah dibawa, contoh PSP), game online, timezone, game handphone, dan ipad. Untuk dapat mengakses game tersebut juga tidak perlu repot, bisa mendowload melalui internet atau membeli langsung dalam bentuk kepingan CD. Kemudian fitur yang beragam memanjakan anak-anak untuk memilih sendiri game mana yang mereka suka serta para pemainnya.
            Begitu kompleks dampak modernisasi yang menyentuh tiap sendi masyarakat. Anak-anak pun melayang dalam hyperspace permainannya. Begitu mudah, fleksibel, dan irasional (Ritzer, 2002)[5]. Level per level, bahkan mereka melawan teknologi (read: komputer) dalam game tersebut. Bukan masalah jika kita tidak memiliki kawan untuk bermain bersama karena game telah mendesain lawannya melalui program tersendiri.
            Ke’simple’an tersebut mengumpetkan permainan tradisional di sisi yang mulai sulit terjangkau. Bahkan TK (Taman Kanak-Kanak), tidak bisa memberikan lebih banyak ruang untuk mereka menikmati alam dan pertumbuhannya dalam permainan karena waktu yang terbatas. Rumah pun menyuguhkan beragam hi-tech untuk memodali anak menghadapi era global di masa datang atau sebagai bentuk pencegahan anak menjadi “liar” dengan lingkungan luar yang tak dikenal.
            Permainan tradisional tidak hanya sekedar kegiatan untuk merefresh penat seorang bocah, tapi juga sebagai bentuk sosialisasi nilai luhur. Berdasarkan hasil penelitian Iswinarti[6], seorang dosen UMM, permainan tradisional merupakan bagian dari foklor yang disebarkan secara turun temurun kepada kolektif bersangkutan, baik lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat (dalam Danandjaya, 1986).  Contoh permainan bakiak dari Sumatera Barat[7]. Permainan bakiak memerlukan kerjasama yang tinggi antaranggota untuk saling menjaga langkah agar selalu sama, karena jika ada yang belangkah beda maka pemain dapat terjatuh. Permainan ini memfilosofikan sebuah nilai gotong royong dan persatuan, ibarat negara akan jalan jika penghuninya saling membatu dan bermisi sama.
            Sudah sepatutnya permainan tradisional dihidupkan kembali pada anak-anak bangsa, karena “dia” tidak hanya sebagai tangan kanan nilai luhur, tetapi juga sebagai icon bangsa Indonesia yang kaya.


[3] Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
[5] Ritzer, George. 2002. The McDonaldization of Society atau Ketika Kapitalisme Berjingkrak. Terj. Solichin dan Didik P. Yuwono. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

4 komentar:

  1. efisiensi.. semakin berkembangnya zaman. efisiensi lah yg paling di cari. cara kerja yang efektif dan efisien. mudah cepat dan menyenangkan. mungkin itu jg jd salah satu penyebab kenapa permainan-permainan tradisional kian hari kian tidak diminati lagi oleh anak kecil. alhamdulillah, walau sempat tinggal di kotta, perumahan. tapi aw masih sempat merasakan permainan-permainan tradisional macam itu. lebih menyenangkan, dan memiliki sisi historis tersendiri.. :D

    BalasHapus
  2. sekarang jaman sudah semakin modern.perkembangan iptek begitu pesat.anak-anak SD jaman sekarang aja pegangannya udah hp m ipod.mungkin karena itu juga anak-anak jaman sekarang kurang membaur dengan teman-temannya untuk melakukan permainan-permainan tradisional seperti kita dulu.mereka lebih senang melakukan permainan yang praktis dan menyenangkan tanpa harus keluar rumah,panas-panasan,kotor-kotoran.:D

    BalasHapus
  3. permainan tradisional sekarang ini uda mulai tergeser dengan permainan modern seperti sekarang ini,padahal permainan tradisional itu mengandung nilai2 budaya serta moral yg g ada d permainan modern...
    misalnya permainan dakon yang mengajarkan ttg nilai kejujuran dalam bermain,,,
    tp permainan itu semakin lama eksistensinya semakin menghilang akibat tergerus zaman yg serba modern,,,

    BalasHapus
  4. mungkin taman kanak-kanak (TK) bisa mempopulerkan kembali permainan tradisional ini atau dalam event 17 agustus

    BalasHapus