Sabtu, 08 Januari 2011

Bule Masuk Timnas

Multikultur adalah suatu nilai yang pasti dalam hidup. Tidak ada manusia yang sama persis, bahkan ketika mereka ditakdirkan terlahir kembar. Sama halnya dengan masyarakat, mereka diciptakan dari individu yang berbeda yang membuat mereka menjadi heterogen. Di sinilah sebuah tantangan terjadi. Perbedaan suku, ras, agama, golongan, latar belakang, kepentingan, kelas, dan lainnya ditempatkan pada satu ruang yang sama. Bagaimana keberagaman ini membaur dan terintegarasi tanpa rasa cemburu. Sebuah pertanyaan yang coba dijawab oleh zaman.
Sebuah perbedaan bisa menjadi nilai tambah untuk objek yang berkenaan langsung dan masyarakat di sekitarnya. Dua belas Klub sepakbola tanah air mengambil pelatih asing untuk berlaga dalam kejuaraan Liga Primer Indonesia. Ini merupakan kali pertamanya Indonesia mengadakan sebuah turnamen bola independent lepas dari campur tangan PSSI sebagai lembaga bola Indonesia.
Pelatih asing yang direkrut oleh beberapa klub bola tersebut merupakan suatu bentuk penerimaan pihak luar dalam lingkup yang sudah terbentuk (baca: tim sepakbola). Multikultur, sebuah sikap saling menerima perbedaan pun telah sampai pada bidang keolahragaan. Tidak untuk pelatihnya saja tapi juga para pemainnya. Sekarang ini PSSI gencar ‘menaturalisasikan’ pemain ‘keturunan’. Naturalisasi adalah ‘mengindonesiakan’ kewarganegaraan pemain yang berdarah campuran (baca: indo). Contoh pemain yang telah ‘dinaturalisasikan’ adalah Cristian Gonzales dan Kim Jeffrey Kurniawan.
Sama seperti warga negara yang berketurunan asli Indonesia, mereka pun punya hak untuk bisa menikmati kesempatan yang sama yang ada di Indonesia, termasuk menjadi pemain timnas. Seperti yang diujarkan oleh pengamat sepakbola M.Kusnaeni, "Prinsip sepakbola itu memberi hak yang sama untuk mereka yang punya asal-usul Indonesia untuk membela Indonesia. Suka tidak suka pemain keturunan itu tidak bisa dicampakkan begitu saja,".
Tidak hanya sportivitas, multikultural pun dijunjung tinggi di sini. Pengakuan adanya perbedaan dan kesamaan hak adalah salah satu syarat terciptanya multikulturalisme. Multikultural juga mampu membuat pesepakbolaan Indonesia menjadi kaya dengan ilmu yang datang dari luar negeri. Berbagai strategi pertahanan yang pernah di dapat dalam klub sebelumnya diaplikasikan di timnas Indonesia.
Multkultural dengan memasukkan pihak asing dalam tim nasional memberikan dampak positif. Terlihat adanya kerjasama yang terjalin dari pihak yang terkait[1]. Kedua pihak (pendatang dan orang setempat) memiliki tujuan yang sama, yaitu membawa pesepakbolaan Indonesia ke taraf yang lebih baik. Di sinilah kemudian mereka saling bertukar kelebihan, orang asing membawa pengalaman dan orang setempat memberikan ruang. Keduanya saling mengisi. Bisa dirasakan bagaimana laga  pemain sepakbola saat ini, Taring mereka muali terlihat di tengah lapangan hijau.
Namun, multikultural ini membawa kecemburuan pada masyarakat lokal. Banyak mantan pemain senior timnas yang menganggur setelah mencopot ‘tali sepatunya’ di lapangan[2]. Bukankah mantan pemain ini dulunya pernah berlaga bersama Indonesia? Mereka tentu paham seluk-beluk pemain Indonesia, karena menciptakan juara bukan dilihat dari strateginya saja tapi bagaimana seorang pelatih dapat membaca situasi dan kemampuan pemainnya. Perlu adanya kedekatan psikologi.
Keberagaman memang bukan hal yang mudah untuk ditaklukan. Akan selalu ada keegoisan yang muncul dari tiap individunya. Hal tersebut menjadi tantangan multikulturalisme dalam dunia pesepakbolaan Indonesia. "Bukan artinya pemain lokal tidak diminati karena nanti pada akhirnya kualitas yang bicara. Kalau pemain lokal lebih bagus ya pasti masyarakat bisa melihatnya." begitu  tutur M.Kusnaeni sebagai pengamat sepakbola[3]. Sebuah stigma bagaimana produk luar (baca: orang asing) terlihat lebih berkualitas karena lebih mendunia.
Tidak salah terhadap langkah yang telah diambil baik IPL ataupun PSSI karena toh tujuan mereka sama-sama baik, yaitu meningkatkan prestasi tim nasional Indonesia. Mereka berharap kedatangan pemain asing bisa memberikan teknik baru dalam bermain. Namun untuk mengurangi kecemburuan pada masyarakat lokal—terutama mantan pemain senior timnas—lembaga-lembaga yang bernaung pada pesepakbolaan Indonesia bisa membuka audisi-audisi pencarian bakat seperti yang dilakukan Perusahaan Djarum dalam pencarian bibit unggul pebulu tangkis Indonesia. Cara lain yang dapat digunakan adalah dengan mendirikan sekolah khusus bola atau pertandingan liga cilik seperti yang diadakan oleh Perusahaan Danone Aqua[4].



[1] Soerjono Soekanto. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada

6 komentar:

  1. bule masuk TIMNAS... boleh aja tuwh... ahahha,, yang penting tambah MAKNYUS.. SEPAKBOLA INDONESIA....

    BalasHapus
  2. indonesia harus lebih terbuka..bule bule itu dah cinta tanah air qo..hargain donk..

    BalasHapus
  3. bule tetep kualitasnya harus diatas pemain lokal... gag masalah menurutku bule masuk timnas.. ^_^

    BalasHapus
  4. pertanyaannya, kapan indonesia menjadi tuan rumah atas negerinya sendiri???

    BalasHapus
  5. bule masuk TIMNAS???
    stimulus neh bagi para pemain bola WNI agar suatu saat TIMNAS d isi oleh orang2 pribumi dari berbagai kultur.,
    buktikan kalau gak hanya bule aja yang kuat...
    hikz,,, hikzz,,,,,

    BalasHapus