Multikultur adalah suatu nilai yang pasti dalam hidup. Tidak ada manusia
yang sama persis, bahkan ketika mereka ditakdirkan terlahir kembar. Sama halnya
dengan masyarakat, mereka diciptakan dari individu yang berbeda yang membuat
mereka menjadi heterogen. Di sinilah sebuah tantangan terjadi. Perbedaan suku,
ras, agama, golongan, latar belakang, kepentingan, kelas, dan lainnya
ditempatkan pada satu ruang yang sama. Bagaimana keberagaman ini membaur dan
terintegarasi tanpa rasa cemburu. Sebuah pertanyaan yang coba dijawab oleh
zaman.
Sebuah perbedaan bisa
menjadi nilai tambah untuk objek yang berkenaan langsung dan masyarakat di
sekitarnya. Dua belas Klub sepakbola tanah air mengambil pelatih asing untuk berlaga
dalam kejuaraan Liga Primer Indonesia. Ini merupakan kali pertamanya Indonesia
mengadakan sebuah turnamen bola independent
lepas dari campur tangan PSSI sebagai lembaga bola Indonesia.
Pelatih asing yang
direkrut oleh beberapa klub bola tersebut merupakan suatu bentuk penerimaan pihak
luar dalam lingkup yang sudah terbentuk (baca: tim sepakbola). Multikultur,
sebuah sikap saling menerima perbedaan pun telah sampai pada bidang
keolahragaan. Tidak untuk pelatihnya saja tapi juga para pemainnya. Sekarang
ini PSSI gencar ‘menaturalisasikan’ pemain ‘keturunan’. Naturalisasi adalah
‘mengindonesiakan’ kewarganegaraan pemain yang berdarah campuran (baca: indo).
Contoh pemain yang telah ‘dinaturalisasikan’ adalah Cristian Gonzales dan Kim
Jeffrey Kurniawan.
Sama seperti warga negara
yang berketurunan asli Indonesia, mereka pun punya hak untuk bisa menikmati
kesempatan yang sama yang ada di Indonesia, termasuk menjadi pemain timnas.
Seperti yang diujarkan oleh pengamat sepakbola M.Kusnaeni, "Prinsip
sepakbola itu memberi hak yang sama untuk mereka yang punya asal-usul Indonesia
untuk membela Indonesia. Suka tidak suka pemain keturunan itu tidak bisa
dicampakkan begitu saja,".
Tidak hanya sportivitas,
multikultural pun dijunjung tinggi di sini. Pengakuan adanya perbedaan dan
kesamaan hak adalah salah satu syarat terciptanya multikulturalisme. Multikultural
juga mampu membuat pesepakbolaan Indonesia menjadi kaya dengan ilmu yang datang
dari luar negeri. Berbagai strategi pertahanan yang pernah di dapat dalam klub
sebelumnya diaplikasikan di timnas Indonesia.
Multkultural dengan
memasukkan pihak asing dalam tim nasional memberikan dampak positif. Terlihat
adanya kerjasama yang terjalin dari pihak yang terkait[1].
Kedua pihak (pendatang dan orang setempat) memiliki tujuan yang sama, yaitu
membawa pesepakbolaan Indonesia ke taraf yang lebih baik. Di sinilah kemudian
mereka saling bertukar kelebihan, orang asing membawa pengalaman dan orang
setempat memberikan ruang. Keduanya saling mengisi. Bisa dirasakan bagaimana laga pemain sepakbola saat ini, Taring mereka
muali terlihat di tengah lapangan hijau.
Namun, multikultural ini
membawa kecemburuan pada masyarakat lokal. Banyak mantan pemain senior timnas
yang menganggur setelah mencopot ‘tali sepatunya’ di lapangan[2].
Bukankah mantan pemain ini dulunya pernah berlaga bersama Indonesia? Mereka
tentu paham seluk-beluk pemain Indonesia, karena menciptakan juara bukan
dilihat dari strateginya saja tapi bagaimana seorang pelatih dapat membaca
situasi dan kemampuan pemainnya. Perlu adanya kedekatan psikologi.
Keberagaman memang bukan
hal yang mudah untuk ditaklukan. Akan selalu ada keegoisan yang muncul dari
tiap individunya. Hal tersebut menjadi tantangan multikulturalisme dalam dunia
pesepakbolaan Indonesia. "Bukan artinya pemain lokal tidak diminati karena
nanti pada akhirnya kualitas yang bicara. Kalau pemain lokal lebih bagus ya
pasti masyarakat bisa melihatnya." begitu
tutur M.Kusnaeni sebagai pengamat sepakbola[3].
Sebuah stigma bagaimana produk luar (baca: orang asing) terlihat lebih
berkualitas karena lebih mendunia.
Tidak salah terhadap
langkah yang telah diambil baik IPL ataupun PSSI karena toh tujuan mereka
sama-sama baik, yaitu meningkatkan prestasi tim nasional Indonesia. Mereka
berharap kedatangan pemain asing bisa memberikan teknik baru dalam bermain.
Namun untuk mengurangi kecemburuan pada masyarakat lokal—terutama mantan pemain
senior timnas—lembaga-lembaga yang bernaung pada pesepakbolaan Indonesia bisa
membuka audisi-audisi pencarian bakat seperti yang dilakukan Perusahaan Djarum
dalam pencarian bibit unggul pebulu tangkis Indonesia. Cara lain yang dapat
digunakan adalah dengan mendirikan sekolah khusus bola atau pertandingan liga
cilik seperti yang diadakan oleh Perusahaan Danone Aqua[4].
[1] Soerjono
Soekanto. 2007. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: RajaGrafindo Persada
bule masuk TIMNAS... boleh aja tuwh... ahahha,, yang penting tambah MAKNYUS.. SEPAKBOLA INDONESIA....
BalasHapusindonesia harus lebih terbuka..bule bule itu dah cinta tanah air qo..hargain donk..
BalasHapusbule tetep kualitasnya harus diatas pemain lokal... gag masalah menurutku bule masuk timnas.. ^_^
BalasHapuspertanyaannya, kapan indonesia menjadi tuan rumah atas negerinya sendiri???
BalasHapusya cuma bisa nunggu.. haha
BalasHapusbule masuk TIMNAS???
BalasHapusstimulus neh bagi para pemain bola WNI agar suatu saat TIMNAS d isi oleh orang2 pribumi dari berbagai kultur.,
buktikan kalau gak hanya bule aja yang kuat...
hikz,,, hikzz,,,,,