Jumat, 19 November 2010

Relawan pun Rindu Kampung Halaman

Sore ini di salah satu daerah wisata kota Jogja. sebuah objek wisata yang mengingatkan kita akan sejarah kota pelajar ini. Ya, dialah Monumen Jogja Kembali atau akrab disebut Monjali. Sejak Merapi meletus pada tanggal 4 November 2010, Monjali berubah fungsi untuk sementara menjadi dapur umum TNI. Di mana biasanya tempat ini penuh dengan para wisatawan dan pedagang, kini barat Monjali dipenuhi para relawan dan bahan makanan. Tak ada lagi mobil atau motor yang parkir rapi di sana. Semua diganti dengan truk-truk milik angkatan bersenjata. Bahkan bukan lagi ibu-ibu rumah tangga saja yang ikut mengupas sayur, meracik bumbu, atau membungkus nasi melainkan pria-pria bertubuh padat ini pun turut mencampurinya.

Tetapi ada satu hal yang menarik di antara gemuruh orang-orang yang sedang bekerja ini. Dikala bantuan datang silih berganti, hal tersebut justru membawa penilaian berbeda dari para TNI. Hobi baru masyarakat (baca: menyumbang) ini memang membantu para pengungsi yang tidak dapat dipungkiri membutuhkan logistik untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka. Tetapi untuk para TNI, khusunya yang berada di dapur umum, bantuan ini merupakan beban tersendiri buat mereka. Ada sebuah celutukan yang keluar dari salah satu petugas yang berada di dapur umum Monjali ketika mobil donatur datang mengantarkan logistik.
“Wah, datang lagi! Kapan selesainya kalau gitu? Sudah keburu kangen sama ibunya anak-anak.”
Sepeintas memang terdengar menggelikan candaan yang dilontarkan ini, dan cukup menghibur suasana di sana. Namun jika ditelaah lebih lanjut, ada benarnya apa yang dikatakan oleh petugas tersebut.

Bukan hanya pengungsi saja yang rindu akan kampung halaman dan suasana harmonis keluarga di rumah. Relawan dan petugas-petugas bersenjata itu pun juga rindu dengan keluarga di rumah. Mereka yang tidak terkena keganasan Merpai turut merasakan dampak yang ditimbulkannya. Panggilan tugas kemanusiaan ini memaksa mereka merasakan (setidaknya hampir sama) dengan apa yang dirasakan para korban. Hal yang manusiawi memang, ketika manusia merasa rindu dengan orang yang dikasihinya. Dorongan biologis seperti berhubungan seks pun juga menjadi faktor kerinduan tersebut. Jadi kalau boleh berpendapat, para relawan dan petugas tersebut juga termasuk korban (korban tenaga, korban pikiran, korban waktu, dan korban “keinginan”). Tapi bedanya mereka melakukan tugas ini dengan sukarela dan jusru mencari masalah (lokasi bencana) tersebut. 

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak hanya pengungsi saja yang perlu mendapatkan pembinaan psikologis, melainkan seluruh jajaran yang terlibat langsung dan menetap cukup lama di posko pengungsian. Kegiatan trauma healing pun perlu dilakukan secara mereta bagi mereka yang terkena dampak letusan Merapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar