“Kamu lagi! Ini sudah jam berapa?”
“Maaf, Pak. Tadi habis ngantar
sepupu ke bandara.”
“Banyak alasan! Keluar!”
Beginilah tradisi baruku di hari Selasa. Aku memang
menunggu pagi, karena saat itu Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup.
Tapi hari ini aku merasa pagi tidak lagi jadi sahabat. Terlalu berat jam tujuh
menuntutku sudah terjaga, karena aku harus masuk tidak lebih dari lima belas
menit. Jika lewat, ya seperti tadi. Aku harus keluar dan menunggu jam
berikutnya. Padahal aku bayar penuh uang kuliah untuk semua waktu.
Aku tahu ini bukan salah dosen itu. Beliau hanya ingin
mendidik kami disiplin. Tepat waktu. Setidaknya cara ini sedikit menghapus label
karet pada jam Indonesia. Meski satu semester tidak menjamin perubahan yang
permanen. Aku hanya belum terbiasa dengan hidupku yang baru. Mungkin juga aku
memang biasa terlambat. Tapi aku punya alasan, dan aku tidak ingin seorang pun
tahu.
***
“Anjing!”
“Kenapa lu, Sar?”
“BH gue putus nih!”
“Elu sih, beli BH diskon.”
“Sembarangan! Ini oleh-oleh dari
Aussie.”
“Aussie? Bohong banget lu, Sar! Masa
BH Aussie putus.”
“Emang lu pikir BH Aussie dari besi,
gak bisa putus! Ah, terserah lu aja deh.”
“Benar, Sar?”
“Hmm.”
“Emang siapa yang ngasih?”
“Mas Tony.”
“Si botak itu?”
“Ya. Dia baru pulang studi banding.”
“Sempat-sempatnya tu Botak beliin lu
BH. Awas lho Sar, nanti kena kutukan rakyat.”
“Kampret, lu!”
Kami pun tertawa bersama cermin yang juga menertawakan
kami, dua gadis manis kekasih bulan. Aku putuskan melacur sejak ayah pergi
dengan wanita lain. Wanita jalang yang mengaku sekretaris kantor tempat ayah
bekerja. Dia rubah ayahku. Dia rebut semua yang ayah miliki. Waktu, uang,
cinta, kasih, bahkan nafsu untuk menyentuh ibuku menjadi luka dan darah. Ibu
pun mati gantung diri dengan sisa kesabarannya.
Aku benci ayah! Aku benci laki-kali! Aku benci hidup dari
benihnya! Aku janji di atas tanah yang mengubur ibu dengan bunga-bunga duka, “Suatu
saat kan ku buat mereka berlutut menyembahku!” Dan mereka telah menyembahku,
memuja lengkuk tubuhku. Seperti anjing yang tak henti merayu, menjulur lidah
berharap nafsu. Bodoh!
“Sar, cepat! Sudah ditunggu.”
“Ya, mom.”
Setengah jam aku bersolek, melukis wajah agar rupawan.
Satu lagi anjing akan ku taklukan malam ini. Aku tidak tahu siapa dia, dan aku
tidak pernah tahu siapa lelaki yang meniduriku tiap malam. Terlalu banyak. Terlalu
remang. Terlalu nikmat. Aku hanya tahu mereka salah satu dari sekian lelaki
bajingan pemuja nafsu, bertuhan setan.
Lorong ini semakin sempit. Semakin tambah penghuni.
Kepulan asap tembakau kian menyamar pandanganku, yang sudah hafal tentunya. Ada
tawa manja dan rayuan pasar di sepanjang lorong berkursi, desah nikmat anak
baru gede di pojok tikungan yang menggebu, Decit kasur reot yang bergoyang
dikejar waktu, dan nyanyian dangdut koplo bagi mereka yang tak mampu. Semua datang
dengan latar belakang yang berbeda.
Aku tiba di kamar. Gelap. Mungkin ini triknya untuk
buatku makin gairah, dan itu yang aku suka dari pekerjaan ini. Selain aku
menjadi bebas tanpa harus bertopeng, mereka selalu punya cara yang unik untuk
memulai permainan. Lelaki tua yang konyol. Tapi aku selalu dibuat penasaran.
Aku
meraba dalam gelap, mencari kasur tempatku bekerja. Ku sentuh tiap detail
ukirannya dan naik di atas. Ku temukan sepasang kaki dengan bulunya yang kasar
sudah berkeringat menungguku. Ruang ini memang pengap dan panas. Tapi rasa
itulah yang membuat kami jadi ganas. Kujilat tubuh agak padat itu hingga ke
atas. Rambut panjang yang terurai ini pun bantu membelainya. Mungkin dia sudah
tidak tahan dan langsung menyergapku. Arrrgghh, keras sekali! Tak satupun lekuk
dia lewatkan. Permainan ini terlau cepat.
Dia
selipkan segulung uang di telingaku dan berbisik, “Selamat malam, sayang.”
Sepertinya aku tahu siapa lelaki ini. Suaranya tak lagi asing. Sungguh aku
penasaran. Siapa dia? Ku sambar tangannya sebelum dia pergi meninggalkan kamar.
Kuberi sedikit cium hangat tuk menahannya bentar, sembari mencari saklar lampu
tuk menemukan wajahnya.
“Bapak?”
“Sarah?
Kamu?”
“Tidak
mungkin.”
“Tutup
mulutmu!” dan dia pergi.
***
Selamat datang pagi dan selamat datang Selasa. Hari ini
pun adzan subuh tak mampu mengingatkanku pada Tuhan. Sepertinya aku terlalu
lama bekerja dan butuh waktu istirahat lebih banyak. Tapi aku ada kelas dan tak
bisa bolos. Sudah sering aku tak ikut kuliahnya. Bukan karena tak masuk, tapi
tak boleh masuk. Lima belas menit yang menyebalkan. Tapi pagi ini akan
kubuktikan lima belas menit itu tak berarti.
Aku tahu aku sudah telat, dan aku tahu apa yang kulakukan
itu nekat. Tapi aku tak peduli. Aku bebas dan aku punya hak atas pendidikanku.
Atas uangku yang sudah masuk rekening kampus dan rekeningnya. Seperti biasa,
pintu sudah tertutup, dan dia sudah memulai materinya setengah jam yang lalu.
“Permisi, Pak. Maaf telat.”
“Masuk. Cepat duduk.”
Semua diam, hanya sayup bisik tak percaya. Lewat lima
belas menit dan aku bisa duduk dalam kelas. Aku pernah mendengar sebuat
pepatah, dibalik laki-laki yang kuat terdapat perempuan yang hebat. Dan itulah
aku, perempuan hebat yang menaklukan jammu. Kau boleh berkuasa atas pagi dan
segala ritualnya, tapi malam masih memihakku. Karena aku kekasih bulan, dan aku
adalah rahasiamu.
Siapa yang tahu sebenarnya dirimu dibalik pakaian rapi
itu. Penuh wibawa dan tampak begitu cerdas dengan setumpuk teori dari buku yang
telah usang. Bahkan peraturan tegas tentang waktu mampu membuat seisi kelas tak
berkutik di hari Selasa. Citra yang sempurna untuk seorang pendidik. Sayang,
aku tak lagi peduli. Aku pun akan menghormatimu sebagai dosen, selama kau
menghormati hakku atas waktu lima belas menit. Karena ku pegang kartumu,
seperti kau pegang tubuhku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar