Senin, 07 Februari 2011

Dia Bernama Utari

Ternyata begini ya rasanya jadi guru. Sungguh melelahkan dan perlu hati seluas stadion Gelora Bung Karno. Sembari jalan-jalan di Desa Celuk, aku menemukan kumpulan anak kecil sedang belajar di pendopo. Kaki ini pun tertarik untuk mendekatinya. Ternyata kumpulan bocah lucu itu adalah PAUD. Mereka sedang belajar menulis angka 4 dan 5.

Setelah sedikit berbincang dengan salah satu pengajar, aku diberikan kesempatan untuk ikut dalam proses belajar-mengajar. Asik, dapat pengalaman baru nih! Berhubung hati ini memang sudah gatel ingin mengajar, langsung saja aku dekati salah satu anak di sana.

Setelah berkeliling, aku mendapatkan murid. Namanya Utari. Gadis kecil berparas polos dengan mata bulat yang belok dan kulit coklat yang eksotik. Aku pun mengajarinya menulis angka 4 dan 5 yang benar dan cepat. Ketika kulihat lembar tugasnya, angka 4 yang ditulis hampir terbalik semua. Bendera yang seharusnya menghadap ke kiri, ditulisnya dengan menghadap kanan. Dengan kesabaran dan keteguhan yang ekstra, aku pun membimbing Utari menulis angka 4 dan 5. Cukup lama memang, tapi tak apa. Aku melihat kemauan yang keras pada mata Utari untuk bisa menulis. Akhirnya terisi juga semua kolom dengan angka 4 dan 5 walau tidak beraturan.

Usai itu, Utari mengeluarkan buku tulisnya. Dia menunjukkan hasil menulis huruf A-E padaku. Wow, aku merasa istimewa! Seorang bocah polos mempercayaiku untuk mengintip hasil karyanya. Benar-benar sebuah penghormatan! Terimakasih Utari. Kepolosanmu memberikan aku kesejukan. Mengajarmu seperti sebuah kebebasan berpikir. Terimakasih murid pertamaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar